ASAL MULA BARONG DI BANGLI
Barong di Bangli mungkin memiliki keunikan tersendiri. Dari jumlah dan jenisnya saja barong yang ada di Bangli sudah bisa dikatakan unik. Di kabupaten dingin ini diperkirakan ada 50 barong yang terdiri atas beraneka ragam jenis, meliputi Barong Ket, Barong Macan, Barong Belas-belasan (terdiri atas beraneka ragam tapel), dan Barong Landung. Bagaimana awal kisah keberadaan barong di Bangli, belum ada sebuah prasasti pun yang menunjuk angka tahun pasti. Namun, dari cerita rakyat yang berkembang turun-temurun dari masa ke masa, barong yang pertama kali berada di Bangli adalah barong bermata tiga dan rangda bermata 11 yang sampai kini di-sungsung oleh masyarakat Desa Pengotan Bangli.
Menurut I Gusti Mangku Ketut Punia, seorang tokoh babad di Bangli, kisah bermula dari keberadaan seorang panjak (hamba) asal Desa Pengotan yang sedang membuat ukiran. Saat tengah mengerjakan ukirannya itulah ia mendapat wahyu untuk membuat barong. Bertepatan dengan itu tapel barong yang muncul bagaikan bayangan bermata tiga. Dalam proses lanjutannya, pengerjaan tapel tersebut berdasarkan tuntunan alam gaib, sampai seluruhnya dapat ia dirampungkan.
Waktu pengerjaan barong bermata tiga itu, menurut I Gusti Mangku Ketut Punia, yakni pada saat masih berkuasanya Raja Bali di Bangli, namun dia tak bisa menyebutkan angka tahun yang pasti. Barong tersebut, lanjut Punia, diyakini memiliki kesaktian yang luar biasa. Ketika rakyat Bangli mengalami gering atau gerubug atau diserang wabah penyakit, kekuatan Tuhan yang berwujud barong tersebut pasti lunga malancaran mengelilingi ''jagat'' Bangli. Sesudah itu gering dan wabah penyakit yang menyerang rakyat Bangli akan sirna.
Oleh karena beberapa kenyataan akan kesaktian barong tersebut, membuat beberapa desa berkeinginan membuat barong serupa, namun hanya dengan dua mata. Untuk hal ini tak jelas alasannya. Desa atau banjar yang membuat barong berikutnya meliputi Banjar Selat Peken dan Pengiangan, Kecamatan Susut, Bangli disusul Banjar Bebalang, pada tahun 1928.
Untuk meluruskan pemahaman mengenai keberadaan barong yang disakralkan oleh warga ini, I Gusti Mangku Ketut Punia mengatakan, bukan berarti masyarakat mengkeramatkan benda berupa barong itu.
''Masyarakat memiliki keyakinan bahwa bukannya barong yang di-sungsung melainkan kekuatan dewa-dewa yang bersemayam di dalamnya. Roh Dewa tersebut masing-masing memiliki kemampuan untuk menetralisasi penyakit yang disebabkan oleh alam,'' ujarnya.
Dilihat dari segi manifestasi kekuatan Tuhan yang diyakini bersemayam di dalam perwujudan benda-benda sakral, terdapat tiga unsur menurut kepercayaan masyarakat Bali. Untuk barong, dewa yang bersemayam di dalamnya adalah Sang Hyang Iswara, raksasa merah menjadi manifestasi Dewa Brahma, Telek adalah Dewa Wisnu, sementara rangda menjadi manifestasi dari Sang Hyang Rohani, sakti Siwa yang dikatakan ibu dari Brahma, Wisnu dan Iswara.
Barong Ngunying
Menurut Gusti Mangku Ketut Punia, ngunying biasa dilakukan pada saat-saat tertentu seperti piodalan di sebuah pura penyungsung barong, atau bertepatan dengan hari raya Galungan-Kuningan. Ngunying bagi masyarakat Bangli indentik dengan kerauhan (kesurupan) dan orang yang kerauhan biasanya memakan anak ayam (pitik). Tidak hanya darahnya tetapi hingga ke bulu-bulunya ikut dilahap. Bahkan yang kerauhan bisa memakan hingga sepuluh ekor anak ayam tanpa tersisa sedikit pun.
Mereka yang ngunying, keesokan harinya tidak akan merasakan apa-apa dan kembali seperti keadaan sebelumya. Juga, jangan berharap bisa melihat anak ayam yang dimakan sampai ke bulu-bulunya pada hari sebelumnya di dalam kotoran orang yang kerauhan tersebut. Hal itu merupakan sebuah keanehan yang kerap terjadi bagi mereka yang kesurupan. ''Saya dulu dua kali pernah mengalami kejadian serupa. Saat ngunying bila tidak diberikan anak ayam, akan muncul perasaan marah yang meletup-letup. Namun begitu diberikan anak ayam muncul perasaan senang yang luar biasa.
Walaupun mengetahui itu adalah anak ayam yang masih mentah, bagi orang yang kesurupan akan sangat senang untuk memakannya. Terutama darah ayam tersebut dirasakan sangat manis. Sementara saat memakan perut (usus) ayam, dirasakan bagaikan memakan mi instan. Saya saat kesurupan benar-benar tidak merasakan apa-apa. Begitu upacara ngunying akan berakhir biasanya orang yang kerauhan akan diberikan sebotol arak. Ketika diberikan arak maka semua persoalan menyangkut ngunying akan terlupakan, dan sadar kembali setelah diberikan tirta dan dupa,'' tutur I Gusti Mangku Ketut Punia.